Jumat, 02 Januari 2015

Hoshi

Hoshi masih duduk di bangku taman yang sama sore itu. Di bawah bentangan langit musim dingin yang menghamburkan butiran-butiran lembut salju. Meski memang tak setebal beberapa hari lalu, tapi akan cukup menambah kebekuan di wajah dan pandangannya.

Iya, kali ini Hoshi tak ingin beranjak dari bangku itu. Dia ingin tetap di sana, menunggu matahari datang menawarkan kehangatan nyata yang akan mampu mencairkan gugusan es di dalam palung sempit di dasar hatinya.

Dia telah bertemu nyala api di perapian, yang cukup menghangatkan, tentunya sebelum api memilih terbang bersama angin musim dingin yang lalu. Hoshi berusaha mengejarnya berharap api mau tetap tinggal di sisinya. Dan ketika sampai di bangku taman itu, Hoshi berhenti. menyadari bahwa api telah pergi dan tak kan kembali.

Karena itulah Hoshi tak beranjak dari bangku taman itu. Berharap api akan datang membawa kehangatan yang lebih dari sebelumnya. Lagi dan lagi, Hoshi hanya menemukan dirinya berjalan dan berlari di jalan setapak yang sama. Dingin tak terperi.

Waktu berlalu, musim berganti. Ketika salju pertama meleleh oleh matahari, Hoshi melihat indahnya sakura menemukan kembali cerianya. Bermekaran bunga-bunga mungil merah jambu. Di sertai tiupan malas sang angin yang hanya ingin menggoda sakura.

Hoshi takjub. Hangat tak harus diciptakan dengan mereka menyengat. Bahkan kehangatan kalbunya tak hadir karena nyala api, tak pula karena matahari pertama di musim semi. Tapi rasa hangat itu menyusup dalam pori. Mengendap di sana, diantara serpihan jiwa.

Karena itulah Hoshi ingin tetap di bangku taman itu. Tempat dimana dia mempelajari banyak hal tentang alam. Bahwa kehangatan bisa datang dr kelopak kecil sakuran. Bahwa kehangatan tak harus dihasilkan oleh matahari yang menyengat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar